Selamat malam! Adinda desu! Malam ini saya tidak bisa tidur.
Kenapa ya? Saya memikirkan banyak hal. Jadi, saya punya teman yang saya anggap
dekat. Entah ini sepihak atau tidak. Teman ini sudah saya kenal sejak 1.5 tahun
lalu. Dari sebuah pertemuan takdir, saya dan dia akhirnya menemukan sebuah hubungan
yang rumit.
Well, kisah baik-baik ini mulai terusik saat saya mendapatkan-
yang Alhamdulillah dari orangnya langsung- bahwa dia akan pergi sekolah ke
Jepang. Iya, negeri yang jauh itu. Yang kalau pakai pesawat, lamanya sampai 17
jam. Saya sebagai temannya tentunya sangat senang. Senang sekali malah. Karena
akhirnya dia berhasil meraih impian yang selama ini jadi cita-citanya. Tujuan
kuliahnya : Pergi ke Jepang. Saya mendukung dia, meski pada awalnya dia galau meninggalkan
Indonesia. Tapi dengan besar hati, saya mendukung dia dan meyakinkan dia bahwa
ini adalah cita-citanya dan dia berhak mendapatkan itu.
Kami memang merencanakan KKN di tempat yang sama, di
Kepulauan Bangka Belitung, Negeri Laskar Pelangi karena kami sama-sama menyukai
pantai, meskipun anehnya, kami belum pernah ke pantai berdua ahaha. Saat itu,
banyak hal yang terjadi selama KKN. Dan anehnya, saya jadi makin ketergantungan
kepada teman saya ini. Sifat overprotective dan posesif saya muncul kembali,
padahal sudah lama sekali hilang. Terakhir kali sifat jelek saya ini muncul,
sewaktu kasus onee-sama. Ah, mungkin setelah itu, saya bertemu teman saya ini dan
perlahan-lahan, sifat saya mengarah ke teman saya ini tanpa saya sadari.
Sayangnya, teman saya tidak memaklumi sifat buruk saya yang
itu. Makanya saya jadi tidak bisa berpikir jernih. Berbagai upaya saya coba
agar saya bisa menekan sifat buruk ini. Tapi saya sadar, sebesar apapun saya
mencoba, saya tidak akan bisa. Makanya, saat moment dia pergi ke Jepang itu
lah, mungkin, menjadi titik baliknya. Dan saya harap begitu.
Malam ini saya berpikir, satu tahun itu, selama apa? Setahun
yang saya jalani belakangan ini terasa sangat menyenangkan. Dia mungkin bukan
tipe orang yang suka menyimpan kenangan. Berbeda dengan saya. Benda apapun yang
saya punya, bisa menimbulkan banyak kenangan. Dan saya ingat sekali awal
pertemuan saya dengan teman saya ini. Seperti sebuah klise yang berjalan di
ingatan, sekali-sekali saya akan mengingat moment lucu, moment sedih, moment
penuh haru dan lain-lain. Saat itu saya berpikir, ah, bagaimana 1 tahun tanpa
dia? Kenapa saya bisa lupa 1.5 tahun lalu sebelum saya bertemua dia? Sebelum
bertemu dia, kehidupan seperti apa yang saya jalani? Well, semuanya jadi begitu
rumit dan mulai memenuhi pikiran saya.
Hari-hari saya main ke kluster social mungkin akan jadi
mimpi. Padahal dulu saya sering banget main ke situ. Sekedar untuk menjemput
dia makan siang, atau main ke suatu tempat ahaha. Kadang teman sekelas saya
marah-marah karena saya lebih memilih main dengan dia. Tapi beginilah, sebuah
perasaan peduli kepada teman tumbuh seiring berjalannya waktu, teman yang
istimewa, yang sudah saya anggap seperti bagian diri saya yang lain.
Saya tidak tahu sejak kapan saya menjadi melankolis. Saat dia
bilang dia menyukai orang lain, saat dia bertanya apakah dia boleh memiliki
pacar, saat saya menyetujui dengan berat hati, saat dia memilih pergi bersama
pacarnya daripada berkumpul bersama saya dan teman-teman lainnya, saat dia tidak
pernah cerita apapun pada saya, saat semua tentangnya saya ketahui dari orang
lain. Saat itu, saya tahu, ini rasanya persahabatan yang bertepuk sebelah
tangan.
Tapi saya senang, saat saya jadi orang pertama yang dia
beritahu macam-macam hal selama 1.5 tahun, saat saya dikenalkan pada
teman-teman sekelasnya, saat dia meminta tolong pada saya, saat dia mengajak
makan bersama. Saya merasa apapun bisa saya lakukan bersamanya. Sejak itu, saya
merasa diri saya superior dan menjadi super egois.
Sial, kenapa jadi supermelankolis malam ini ahaha. Ini
dimulai saat saya membaca sebuah blog. Blog itu memiliki cerita yang sama
dengan yang sedang saya alami. Saat itu saya berpikir, satu tahun itu selama
apa? Study saya semestinya sudah selesai tahun depan. Apakah itu artinya, ini
perpisahan untuk selamanya? Kapan lagi kami akan bertemu? Satu tahun itu bisa
merubah apa saja? Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawabanlah yang terus terngiang
dipikiran, sampai tanpa sadar, jidat saya jadi sering mengkerut ahahah.
Lalu, sebagai hadiah yang mungkin perpisahan, saya harus
memberikan apa? Do’a? bagi saya itu tidak cukup. Doushiyo?
Sebagai penutup, berikut quote malam ini :
Satu tahun memang bukan selamanya, tapi selamanya bisa
berubah dalam satu tahun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kritik dan sarannya :)